BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang
komprehensif dan sempurna(syumul ). Islam mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah,
khususnya ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam
tersebut dalam banyak ayat, antara lain Kesempurnaan Islam itu tidak saja
diakui oleh intelektual muslim, tetapi juga para orientalist barat, di
antaranya H.A.R Gibb yang mengatakan, “ Islam is much more than a system
of theology it’s a complete civilization.”
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia
adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam
tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para
ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat
besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah
perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang
terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Albaqarah, yang menurut Ibnu Arabi
ayat ini mengandung 52 hukum/malasah ekonomi).
Dalam pembahasan kali ini saya akan membahas tentang jialah,
jialah ini merupakan
pemberian upah
(hadiah) atas suatu manfaat yang diduga bakal terwujud, seperti mempersyaratkan
kesembuhan dari seorang dokter, atau kepandaian dari seorang guru, atau
pencari/penemu hamba yang lari. Jialah ini juga dapat dijadikan sebagai akad.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari jialah?
2.
Apa
sajakah rukun dan syarat jialah?
3.
Apa
landasan hukum yang menguatkan dan membolehkan jialah?
4.
Bagimana
aplikasi jialah dalam perbankan?
1.3 Tujuan
Masalah
1. untuk memahami pengertian jialah
2. untuk mengetahui rukun dan syarat
jialah
3. untuk mengetahui landasan hukum yang
menguatkan dan membolehkan jialah
4. untuk mengetahui aplikasi jialah
dalam perbankan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ji’alah
Pengupahan
(ju’alah) menurut bahasa ialah apa yang diberikan kepada seseorang karena
sesuatu yang dikerjakannya, sedangkan pengupahan (ju’alah) menurut syariah,
Al-Jazairi (2005:525-526) menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam
jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau
tidak diketahui. Misalnya, seseorang bisa berkata,” Barangsiapa membangun
tembok ini untukku, ia berhak mendapatkan uang sekian”. Maka, orang yang
membangun tembok untuknya berhak atas hadiah(upah) yang ia sediakan, banyak
atau sedikit. Istilah lain dalam pengupahan adalah ijarah. Penggunaan kedua
istilah ini sesuai dengan teks dan konteksnya.[1]
Ji’alah
adalah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang
ditentukan. Misalnya, seseorang kehilangan kuda, dia berkata,”Barang siapa yang
mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.[2]
Al-ju’l
ialah pemberian upah (hadiah) atas suatu manfaat yang diduga bakal terwujud,
seperti mempersyaratkan kesembuhan dari seorang dokter, atau kepandaian dari
seorang guru, atau pencari/penemu hamba yang lari.[3]
Kata
jialah secara bahasa artinya mengupah. Secara syara’ sebagaimana dikemukakan
oleh Sayyid Sabiq :
عقد على منفعة
يظن حصوله
Artinya
: “sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat
diperoleh”.
Istilah
jialah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fukaha yaitu memberi upah
kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati
orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang
menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, jialah bukan hanya terbatas pada barang
yang hilang namun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.[4]
Dalam
buku Ensiklopedi Hukum Islam ji'alah berarti upah atau hadiah yang diberikan
kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu
pekerjaan atau perbuatan tertentu.[5]
Meskipun ji'alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskanoleh Ibnu
Qudamah, ulama Mazhab Hanbali, ia dapat dibedakan dengan Ijarah dari lima
segi. Pertama, pada ji'alah upah atau
hadiah yang dijanjikan hanya boleh diterima oleh orang yang menyatakan sanggup
untuk mewujudkan apa yang menjadi objek pekerjaan atau perbuatan tersebut, jika
pekerjaan atau perbuatan tersebut telah mewujudkan hasil dengan sempurna.
Sedangkan pada ijarah, orang yang melaksanakan pekerjaan tersebut berhak
menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang telah diberikannya meskipun pekerjaan itu belum
sempurna dilaksanakannya. Kedua, pada ji'alah terdapat unsur gharar (penipuan,
spekulasi, untunguntungan) karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi
batas waktu penyelesaian pekerjaan ataupun cara dan bentuk penyelesaian
pekerjaannya. Sedangkan dalam ijarah, batas waktu penyelesaian, bentuk
pekerjaan, dan cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam perjanjian, sehingga
orang yang melaksanakan pekerjaan dalam ijarah harus mengerjakan pekerjaan yang
dijadikan objek perjanjian sesuai dengan batas waktu dan bentuk pekerjaan yang
disebutkan dalam transaksi. Dengan kata lain, yang dipentingkan dalam ji'alah
adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu penyelesaian ataupun bentuk
atau cara mengerjakannya. Ketiga, pada ji'alah tidak dibenarkan adanya
pemberian imbalan upah atau hadiah
sebelum pekerjaan dilaksanakan. Sedangkan dalam ijarah, pemberian upah terlebih
dahulu dibenarkan, baik secara keseluruhan ataupun sebagian, baik sebelum
pekerjaan dilaksanakan maupun ketika pekerjaan sedang berlangsung. Keempat,
tindakan hukum yang dilakukan dalam ji’alah bersifat sukarela. Sehingga apa yang
dijanjikan boleh saja dibatalkan (fasakh) selama pekerjaan belum dimulai tanpa
menimbulkan akibat hukum, sedangkan ijarah merupakan transaksi yang bersifat
mengikat semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Dengan demikian, jika
perjanjian tersebut dibatalkan, maka tindakan itu menimbulkan akibat hukum bagi
pihak bersangkutan, salah satu pihak yang melakukan perjanjian ijarah dapat
mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang lain jika perjanjian ijarah
tersebut dibatalkan. Kelima, dari segi ruang lingkupnya, Mazhab Maliki
menetapkan kaidah bahwa semua yang dibenarkan menjadi objek dalam transaksi
ji'alah boleh menjadi objek dalam transaksi ijarah, tetapi tidak semua yang
dibenarkan menjadi objek dalam transaksi ijarah dibenarkan pula menjadi objek dalam
transaksi ji'alah. dengan kata lain, ruang lingkup ijarah lebih luas dari pada
ruang lingkup ji'alah. berdasarkan kaidah tersebut maka pekerjaan menggali
sumur sampai menemukan air, atau menjadi pembantu rumah tangga selama sebulan
misalnya, dapat menjadi objek dalam transaksi ijarah., tetapi tidak menjadi
objek dalam transaksi ji'alah. Kedua contoh perbuatan tersebut tidak sah
menjadi objek transaksi ji'alah karena pihak yang menjanjikan upah pekerjaan
tersebut telah mendapatkan manfaat dari kedua pekerjaan tersebut meskipun sumur
yang digali tidak sampai menemukan air, atau meskipun pembantu rumah tangga itu
belum cukup sebulan bekerja, padahal pihak yang melakukan pekerjaan tersebut
tidak berhak menerima hadiah atau upah sebelum pekerjaan tersebut dilaksanakannya
dengan sempurna.
B.
Rukun dan Syarat Jialah
Rukun
pengupahan (ju’alah) adalah sebagai berikut:[6]
1.
Lafal
(akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak
ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin orang yang menyuruh
(punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu
ditemukan.
Ada 2 orang
yang berakad dalam jialah yaitu :
i.
Ja'il yaitu orang yang mengadakan sayembara.
Disyaratkan bagi ja'il itu orang yang mukallaf dalam arti baligh, berakal, dan
cerdas
ii.
'Amil adalah orang yang melakukan sayembara.
Tidak disyaratkan 'amil itu orang-orang tertentu (bebas).
2.
Orang
yang menjanjikan memberikan upah. Dapat berupa orang yang kehilangan barang
atau orang lain.
3.
Pekerjaan
(sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta
dalam sayembara tersebut).
4.
Upah
harus jelas, telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan
pekerjaan (menemukan barang).
Syarat Jialah
1.
Pihak-pihak yang
berji'alah wajib memiliki kecakapan bermu'amalah (ahliyyah al-tasharruf), yaitu
berakal, baligh, dan rasyid (tidak sedang dalam perwalian). Jadi ji'alah tidak
sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
2.
upah (ja’il) yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas
jumlahnya. Jika upahnya tidak jelas, maka akad ji’alah batal adanya, karena
ketidak pastian kompensasi. Seperti, barang siapa yang menemukan mobil saya
yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu, upah yang diperjanjikan
itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras.
3.
Aktivitas yang
akan diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan yang haram dan diperbolehkan secara syar’i. Tidak
diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau
praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh dijadikan
sebagai obyek transaksi dalam akad ji’alah
4.
Kompensasi
(materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (ma'lum), di
samping tentunya harus halal.[7]
Kalau
orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum,” Siapa yang
memndapatkan barangku akan ku beri uang sekian,”. Kemudian dua orang bekerja
mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka
upah yang dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.
C.
Landasan Hukum
Jumhur
fukaha sepakat bahwa hukum jialah mubah. Hal ini, didasari karena jialah
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal lain, yang masih termasuk
jialah rasulullah membolehkan memberikan upah atas pengobatan yang menggunakan
bacaan Al-Qur’an dan surat al-fatihah.
Dalam al-Qur’an dengan tegas Allah membolehkan
memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang
hilang. Hal itu ditegaskan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 72.
قَالُوا
نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ
زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾
“Kami kehilangan piala raja maka siapa yang dapat mengembalikannya,
maka ia akan mendapatkan bahan makanan seberat beban unta. Dan aku menjamin
terhadapnya”. (QS. Yusuf : 72)
Sabda nabi saw. kepada para sahabat yang mendapatkan jialah berupa
sekawanan kambing karena mengobati orang yang tersengat,” Ambillah ju’alah
(upah) dan berikanaku satu bagian bersama kalian”.(HR. Bukhari)
Dalil dari As
Sunnah adalah hadits Abu Sa'id berikut, ia berkata:
انْطَلَقَ
نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفْرَةٍ
سَافَرُوهَا، حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ،
فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ، فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ
الحَيِّ، فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ، فَقَالَ
بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ نَزَلُوا، لَعَلَّهُ
أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ، فَأَتَوْهُمْ، فَقَالُوا: يَا أَيُّهَا
الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ، وَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ
يَنْفَعُهُ، فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ:
نَعَمْ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ
فَلَمْ تُضَيِّفُونَا، فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا
جُعْلًا، فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنَ الغَنَمِ، فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ
عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ
مِنْ عِقَالٍ، فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ، قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ
جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوا،
فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا،
فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا
لَهُ، فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ» ، ثُمَّ قَالَ: «قَدْ
أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا» فَضَحِكَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Sebagian sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam pergi dalam suatu safar yang mereka lakukan. Mereka singgah
di sebuah perkampungan Arab, lalu mereka meminta jamuan kepada mereka (penduduk
tersebut), tetapi penduduk tersebut menolaknya, lalu kepala kampung tersebut
terkena sengatan, kemudian penduduknya telah bersusah payah mencari sesuatu
untuk mengobatinya tetapi belum juga sembuh. Kemudian sebagian mereka berkata,
"Bagaimana kalau kalian mendatangi orang-orang yang singgah itu
(para sahabat). Mungkin saja mereka mempunyai sesuatu (untuk menyembuhkan)?"
Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu berkata, "Wahai kafilah!
Sesungguhnya pemimpin kami terkena sengatan dan kami telah berusaha mencari
sesuatu untuk(mengobati)nya, tetapi tidak berhasil. Maka apakah salah seorang
di antara kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?" Lalu di antara sahabat
ada yang berkata, "Ya. Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah,
kami telah meminta jamuan kepada kamu namun kamu tidak memberikannya kepada
kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau
memberikan imbalan kepada kami." Maka mereka pun sepakat untuk memberikan
sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung tersebut),
kemudian meniupnya dan membaca "Al Hamdulillahi Rabbil 'aalamiin,"
(surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia pun
dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit. Kemudian mereka memberikan
imbalan yang mereka sepakati itu, kemudian sebagian sahabat berkata,
"Bagikanlah." Tetapi sahabat yang meruqyah berkata, "Jangan
kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu
kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita perhatikan apa yang Beliau
perintahkan kepada kita." Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan masalah itu. Kemudian Beliau
bersabda, "Dari mana kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai
ruqyah?" Kemudian Beliau bersabda, "Kamu telah bersikap benar!
Bagikanlah dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian itu." (HR. Bukhari
dan Muslim)
Begitu juga dengan sabda Rasulullah dalam
sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah kecuali Imam Nasa’I dari
Abu Sa’id al-Khudri. Suatu ketika sahabat Rasulullah mendatangkan sebuah
perkampungan Arab. Namun mereka tidak dilayani layaknya seorang tamu. Tiba-tiba
pemimpin merka terserang penyakit, kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk
menyembuhkannya. Sahabat Rasul meng-iya-kan dengan catatan mereka diberi upah.
Syarat ini disetujui, kemudian seorang sahabat membaca al-Fatihah, maka
akhirnya pemimpin tersebut sembuh. Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi
sahabat tidak mau menerima sebelum lapor dari Rasulullah, maka Rasulullah
tersenyum melihat atas laporan kejadian itu.
Menurut ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah, dan hanabilah,
secara syar’i, akad ji’alah diperbolehkan. Dengan landasarn kisah Nabi Yusuf
beserta saudaranya.
Kedudukan
transaksi upah (al-ju’l) adalah segala bekerja bentuk pekerjaan (jasa), yang
pemberi upah tidak mengambil sedikitpun dari upah (hadiah) itu. Sebab, jika
pemberi upah mengambil sebagian dari upah itu, berarti ia harus terikat dengan
jasa dan pekerjaan itu. Padahal jika calon penerima upah itu (al-maj’ul) gagal
mendatangkan manfaat, seperti ditetapkan dalam transaksi upah (al-ju’l), ia
tidak akan mendapatkan apa-apa. Jika pemberi upah (al-ja’il) mengambil hasil
kerja calon penerima upah (al-maj’ul), tanpa imbalan kerja atau jasa tertentu,
berarti ia telah melakukan suatu kezaliman.[8]
D.
Operasional Hukum Ju’alah
Pelaksanaan dalam system pengupahan menurut Al-Jazairi di antaranya
mengandung hukum-hukum pengupahan (ju’alah) yaitu sebagai berikut[9]:
1.
Pengupahan
(ju’alah) adalah akad yang diperbolehkan. Kedua belah pihak yang bertransaksi
dalam pengupahan diperbolehkan membatalkannya. Jika pembetalan terjadi sebelum
pekerjaan dimulai maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan
terjadi di tengah-tengah proses pekerjaan maka pekerja berhak mendapatkan upah
atas pekerjaan.
2.
Dalam
pengupahan (ju’alah), masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika
seseorang berkata,” Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia akan
mendapatkan hadiah satu dinar”. Orang yang berhasil menemukannya berhak atas
hadiah tersebut walaupun menemukannya setelah sebulan atau setahun.
3.
Jika
pengerjaan dilakukan sejumlah orang maka upah atau hadiahnya dibagi secara
merata antara mereka.
4.
Pengupahan
(ju’alah) tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi, seseorang tidak boleh
berkata,”Barang siapa menyakiti atau memukuli si Fulan atau memakinya, ia
mendapatkan upah (ju’alah) sekian”.
5.
Barang
siapa menemukan barang tercecer atau barang hilang atau mengerjakan suatu
pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalua di dalamnya terdapat upah
(ju’alah), ia tidak berhak atas upah tersebut kendati ia telah menemukan barang
yang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara suka rela
sejak awal. Jadi, ia tidak berhak mendapatkan ju’alah tersebut kecuali jika ia
berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuannya, sebagai balas budi
atas perbuatannya tersebut.
6.
Jika seseorang berkata,”Barang siapa makan dan
minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas upah(ju’alah),” maka
ju’alah seperti itu diperbolehkan , kecuali jika ia berkata,”Baranng siapa
makan dan tidak memakan sesuatu daripadanya, ia berhak atas ju’alah,”
ju’alah seperti ini tidak sah.
7.
Jika
pemilik ju’alah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya ju’alah maka ucapan yang
diterima adalahucapan pemilik ju’alah dengan disuruh bersumpah.jika
kedua berbeda pendapat tentang pokok ju’alah maka ucapan yang diterima
ialah ucapan pekerja dengan disuruh bersumpah.
E. Pelaksanaan Jialah
Teknis pelaksanaan
jialah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1. Ditentukan
oleh orangnya.
Misalnya
: si Budi dengan sendirinya mencari barang yang hilang.
2. Secara
umum, artinya orang yang diberi pekerjaan mencari barang bukan satu orang,
tetapi bersifat umum yaitu siapa saja.
Misalnya
: seseorang berkata “Siapa saja yang dapat mengembalikan barangku yang hilang
maka akan aku beri upah sekian”.
F. Pembatalan Jialah
Madzab
Malikiyah menyatakan, akad ji’alah boleh dibatalkan ketika pekerjaan belum
dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah,
akad ji’alah boleh dibatalkan kapanpun, sebagaimana akad-akad lain, seperti
syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan secara sempurna. Jika akad
dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak
masalah, karena tujuan akad belum tercapai.
Jika akad dibatalkan setelah dilaksanakannya pekerjaan,
maka ’amil boleh mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan.
Pembatalan
jialah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang kehilangan barang
dengan orang yang dijanjikan jialah atau orang yang mencari barang) sebelum
bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari barang, maka ia
tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi, jika yang
membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja berhak
menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.[10]
G.
Aplikasi Pada
Perbankan
Aplikasinya
ialah pada SBIS (sertifikat Bank Indonesia Syariah). Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat
Bank Indonesia Syariah (SBIS)(“PBI
10/11/2008”).SBIS adalah adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah
berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia (Pasal 1 angka 4 PBI 10/11/2008). SBIS yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia menggunakan akad Ju’alah (Akad ju’alah adalah janji atau
komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l)
atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan). Sesuai dengan
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO:
64/DSN-MUI/XII/2007 tentang SERTIFIKAT
BANK INDONESIA SYARIAH JU’ALAH ( SBIS JU’ALAH ) menetapkan bahwa Sertifikat
Bank Indonesia Syariah Ju’alah (SBIS Ju’alah) adalah SBIS yang menggunakan Akad
Ju’alah, dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI no. 62/DSNMUI/XII/2007
tentang Akad Ju’alah. Dalam SBIS Ju’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il
(pemberi pekerjaan); Bank Syariah bertindak sebagai maj’ullah (penerima
pekerjaan); dan objek/underlying Ju’alah (mahall al-‘aqd)
adalah partisipasi Bank Syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia
dalam pengendalian moneter
melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di
Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Pengupahan
(ju’alah) menurut bahasa ialah apa yang diberikan kepada seseorang karena
sesuatu yang dikerjakannya, sedangkan pengupahan (ju’alah) menurut syariah,
Al-Jazairi (2005:525-526) menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam
jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau
tidak diketahui. Misalnya, seseorang bisa berkata,” Barangsiapa membangun
tembok ini untukku, ia berhak mendapatkan uang sekian”. Maka, orang yang
membangun tembok untuknya berhak atas hadiah(upah) yang ia sediakan, banyak
atau sedikit. Istilah lain dalam pengupahan adalah ijarah. Penggunaan kedua
istilah ini sesuai dengan teks dan konteksnya.
2.
Rukun
dan syarat pengupahan (ju’alah) adalah sebagai berikut:
a.
Lafal
(akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak
ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin orang yang menyuruh
(punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu
ditemukan.
b.
Orang
yang menjanjikan memberikan upah.
c. Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh
orang yang memiliki harta dalam sayembara tersebut).
d.
Upah
harus jelas,
3.
Dalam
al-Qur’an dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain yang
telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu ditegaskan dalam al-Qur’an
surat Yusuf ayat 72.
4.
Aplikasinya
ialah pada SBIS (sertifikat Bank Indonesia Syariah). Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)(“PBI
10/11/2008”).
DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly,H.
Abdul Rahman, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010
Nawawi, H.
Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Galia Indonesia,
2012.
Rasjid, H.
Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo,2008.
Rusyd,Ibnu, Bidayatul
Mujtahid analisis fiqih para mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
[1] H. Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik
dan Kontemporer (Bogor: Galia Indonesia, 2012), hlm.188-189.
[2] H. Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar BAru Algesindo,2008), hlm. 305.
[3] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid analisis fiqih para mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007),
hlm.101.
[4] H. Abdul Rahman
Ghazaly, Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010),
hlm.141.
[5]
http://www.perencana.info/2013/03/sistem-nisbah-bagi-hasil-bank-syariah.html, diakses pada 3 April 2013, pada pukul 14.00 wib.
[6] H. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah,
hlm. 143.
[7]
Ibid.,
[8] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid analisis fiqih para mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007),
hlm.102.
[9] H. Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor:
Galia Indonesia, 2012), hlm.192.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق